World Health Organization (WHO) mencatat sedikitnya 25 juta orang meninggal di jalan karena kecelakaan (WHO, 2017: 2). Negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan negara kaya. Lebih dari 90% kematian di jalan terjadi di negara miskin, yang jumlah kendaraannya hanya 48% dari keseluruhan jumlah kendaraan di dunia (WHO, 2009: vii). Di Indonesia sendiri diperkirakan 15.3 kematian dari 100.000 orang disebabkan kecelakaan lalu lintas (WHO, 2015: 266). Seperempat dari kecelakaan di Indonesia tersebut berakibat kematian. Data statistik Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) sampai dengan 29 Juni 2018 juga menunjukkan kecelakaan lalu lintas didominasi oleh pengendara sepeda motor, yaitu sebanyak 32.345 kendaraan (korlantas.polri.go.id, 2018). Jumlah ini meningkat dari periode sebelumnya yang sebelumnya 31.8354. Ironisnya, sepeda motor merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Kemudian, pada tahun 2021 ini Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi selaku kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat bahwa setiap jam, sedikitnya 2-3 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan semua kasus kendaraan baik angkutan umum, truk maupun sepeda motor.
Berdasarkan data-data tersebut, langkah yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya untuk menggunakan tes psikologi dalam ujian SIM cukup beralasan, mengingat angka kecelakaan di Indonesia masih tinggi. Hal tersebut juga sesuai pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Untuk syarat kesehatan dibagi menjadi dua, yakni sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter dan surat rohani dengan surat lulus tes psikologi. Hal itu semakin diperkuat dengan adanya surat Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2012 yang diteken oleh Kapolri saat itu, yakni Jenderal Polisi Timur Pradopo. Pada Pasal 37 disebutkan bahwa penilaian rohani seseorang didasarkan pada hasil tes psikologi.
Kebutuhan akan tes Psikologi untuk para pengemudi telah banyak jadi perhatian dunia akademis dan jadi subjek penelitian. Christine Chaloupka, pendiri perusahaan konsultan FACTUM dan lulusan psikologi University of Vienna dalam paper berjudul "Why Do We Need Traffic Psychology" (2013), psikologi pengendara berkaitan dengan tingkah lakunya di jalan raya. Kecelakaan lalu lintas bukan dikarenakan kurangnya pengetahuan dan kecakapan dalam berkendara, tetapi karena pengguna jalan raya tidak ada upaya untuk menjaga keselamatan. Perilaku tersebut didorong oleh faktor stres, kemarahan, atau egois. Pendekatan psikologi lalu lintas bisa dilakukan untuk meningkatkan kepedulian pengendara akan keselamatan. Penekanan pada pentingnya psikologi lalu lintas dapat mengurangi jumlah pelanggaran lalu lintas hingga 50 persen, dibandingkan membuat sanksi untuk pelanggar. Ini berkaitan dengan upaya mengurangi potensi kecelakaan di jalan raya.
Dilansir dari Drivemetrics, psikolog tahu bagaimana mengubah sikap seseorang yang teridentifikasi dapat melakukan pelanggaran lalu lintas. Ada kesalahan berpikir yang paling sering dilakukan pengendara. Pertama, mereka merasa memiliki kemampuan berkendara lebih tinggi dibandingkan pengendara lain dan mereka akhirnya berkendara dengan ceroboh. Kedua, mereka tidak memikirkan risiko kecelakaan yang mungkin terjadi, sehingga menjadi acuh dalam menjaga keselamatan. Untuk menanggulangi perilaku tersebut, psikolog akan menemukan kesalahan dalam berpikir, kemudian mengarahkannya menjadi lebih baik. Oleh karena itu di beberapa negara-negara maju seperti Portugal dan Jerman menerapkan tes psikologi sebagai persyaratan ujian SIM. Tes psikologi pada ujian SIM telah dilakukan penelitian pada dua Negara tersebut dan terbukti efektif dalam mengurangi kecelakaan lalu lintas.
Fatima Pereira Da Silva, profesor di School of Education of Coimbra, Portugal, spesialis bidang human factors and road safety dalam papernya yang berjudul "The Importance of Psychological Assesment, Risk Behavior and Driver", yang berisi hasil penelitiannya tentang uji psikologi bagi pemohon SIM. Ia mengatakan di Portugal ada uji psikologi dalam prosedur pembuatan SIM untuk mengidentifikasi perspektif kognitif, psikomotorik, dan psikososial calon pengemudi. Dalam penelitiannya, Fatima melakukan observasi kepada 574 orang pengemudi dan calon pengemudi dari berbagai latar belakang pekerjaan. Ia mensurvei kepada para responden itu lewat kuisioner dengan pertanyaan utama tentang seberapa penting tes psikologi menurut para pengemudi dan seberapa efektif tes psikologi untuk mengetahui cara berkendara seseorang. Hasilnya, sebagian besar responden menganggap tes psikologi penting untuk calon pemegang SIM. Mereka juga setuju tes psikologi dilakukan terhadap semua pengemudi, terutama dikaitkan dengan pelanggaran. Penelitian itu juga memaparkan bahwa pelanggaran lalu lintas menjadi salah satu penyebab utama kecelakaan fatal. Pada kesimpulannya, Fatima menyebut perlunya optimalisasi tes psikologi dalam proses pembuatan SIM untuk mengetahui sikap berkendara seseorang. Nantinya, jika ditemukan indikasi pemohon SIM berpotensi melakukan pelanggaran lalu lintas, maka yang bersangkutan dinyatakan gagal dalam ujian SIM.
Di Jerman, mengutip "Evaluation Result of The Medical and Psychological Assesment in Germany" yang dirilis 2010, pelanggar lalu lintas yang kedapatan memiliki kadar alkohol dalam darah sebesar 0,16 persen akan ditarik izin mengemudinya dan harus menjalani masa rehabilitasi. Setelah menjalani masa pantangan mengkonsumsi alkohol, para pelanggar harus menunaikan medical and psychological assessment (MPA). Tes psikologi itu dibuat untuk memastikan pelanggar lalu lintas sudah tidak lagi gemar mengonsumsi alkohol. MPA juga diberlakukan untuk memeriksa kesehatan fisik dan psikis pemohon SIM, orang-orang yang terlibat perbuatan kriminal berkaitan dengan lalu lintas, pengemudi yang beberapa kali melakukan pelanggaran lalu lintas, dan calon pemegang SIM yang masih di bawah umur. Langkah preventif tersebut dilakukan untuk mereduksi angka kecelakaan lalu lintas.
Sebagai aturan yang sudah diamanatkan pada undang-undang, syarat mendapatkan SIM dengan melewati tes psikologi memang sudah semestinya. Penerapannya tes psikologi merupakan langkah awal upaya perbaikan dan langkah dalam mengurangi kecelakaan lalu lintas yang ada di Indonesia maupun di dunia.